Jumat, 28 Januari 2011

KERING ( KEtika Raga INGat pada mu)

Pada suatu sore di akhir Januari.. Cuaca nampak cerah dan tak begitu panas. Berkali-kali desir hembusan angin sepoi-sepoi begitu terasa hingga ke rongga dada. Menyejukkan suasana sekitarnya.. Meruntuhkan daun-daun yang telah kering dan menguning dari pangkal pohonnya yang kadang tak jarang jatuh tepat di hadapanku. Senandung merdu burung-burung kecil di atap genting saling sahut menyapa satu dengan yang lainnya. Turut serta meramaikan alam raya yang sunyi. Suara motor berlalu lalang terdengar lantang.. pelan.. terdengar lagi.. lantas menghilang bak di telan bumi, pertanda sang pengendara dari balik jubahnya telah melintas jauh dari peredarannya.

Aku bersandar pada dinding tembok merah tinggi di lantai atas di gedung berlantai 3 namun belum sempurna, karena proses pembangunan sedang terhenti untuk sementara waktu... Belum lama ku lewati hari, ketika tiba-tiba saja wajah langit yang sebelumnya nampak bahagia, kini berubah 180 derajat. Memunculkan aura kelam di balik tabirnya, sendu seperti ingin menangis tapi tertahan oleh medan magnet yang sangat kuat. Hampir-hampir begitu gelap dan muram. Dari kejauhan.. tampak sekumpulan awan hitam sedang berspekulasi satu sama lain mendiskusikan suatu rencana besar, dan mulai membentuk semacam komunitas yang bernama SOC (School of Clouder) di singgasana tempat mereka bertahta. Tertuju pada satu titik, seakan ingin berontak melakukan perlawanan.

Iklim di Kota Ciputat dengan sejuta umatnya, memang sedang tak bersahabat akhir-akhir ini. Kadang cerah yang datang, kadang mendung yang memayungi, bahkan suatu waktu isak tangis awan yang turun mengguyur gedung-gedung pencakar langit di bawahnya. Tanpa henti, dan berlangsung dalam tempo yang biasanya tak singkat.

Aku membolak-balikkan lembar demi lembar halaman sebuah buku fiksi detektif kenamaan dari London, yang sedari tadi aku pegang. Cukup lama aku berkutat di sana hingga kutemukan topik yang terlebih dahulu menarik untuk ku baca. Beralaskan matras kecil empuk, keistirahatanku kian terjaga dari hiruk pikuk dunia di luar sana. Detik berikutnya.. tanpa sadar aku telah tenggelam dalam alur ceritanya yang memikat. Kurasakan setiap kedalaman kisahnya, terdeskripsikan figur Sherlock Holmes seakan hadir di tengah-tengah keberadaanku kala itu. Kehebatan-kehebatannya dalam menangani setiap kasus kriminal internasional dengan cara yang luarbiasa. Kegeniusan metode yang dipakainya untuk memecahkan perkara-perkara misterius nan rumit, membuat siapapun (termasuk para pembaca) yang melihat aksinya lantas tergidik berdecak kagum memuji trik-trik unik gaya khasnya dalam mengakhiri suatu petualangan.

***
Tak terasa... satu topik pada buku fiksi detektif tersebut telah rampung ku baca. Cukup terpuaskan memang, tapi hanya sampai di situ. Ku letakkan ia tepat di atas meja di sampingku. Kemudian pandanganku beralih pada buku diktat kecil dan sebuah pena....

***
Untuk beberapa saat, keadaan kembali tenang.. sunyi senyap, terdiam membisu.. nyaris tanpa sepatah kata pun dan tanpa aktivitas berarti. Tak berpindahku sedikit pun dari posisi duduk semula. Segenap pikiran menguap terbang melayang-layang mengudara tanpa arah dan tujuan. Bagai kapas dan puing-puing kertas yang pasrah tertiup satu helaan nafas yang kuat...

***
Tik ! Satu jentikkan jari membuyarkan situasi. Sebersit ‘Imajinasional‘ kini hadir dikala sumur-sumur inspirasi mulai mengering. Termotivasi dari sebongkah ide dan gagasan sederhana empiristik masa lampau hingga dengan sendirinya telah menghipnotis tanganku untuk bergerak menari-nari di atas kertas putih bersama pena yang tergenggam dalam lima jari. Sembari menemani keistirahatan Sang Surya yang tergantikan oleh gumpalan kabut hitam yang pekat.

Hujan belum juga turun, saat ku pandangi objek-objek di sekelilingku. Tak khayal waktu 2,5 tahun di tempat ini terasa begitu cepat berlalu. Di sini, tempat dimana seorang aku bersama mereka menghabiskan waktu bersama, melewati ribuan kisah yang sulit untuk dilupakan sampai kapan pun. Aroma kekeluargaan yang tercipta begitu lekat, seakan sudah menyatu dalam nadi dan aliran darahku.

Teringat momen-momen indah ketika ‘Kita’ berspekulasi merajut jalinan ikatan kebersamaan. Kita Jejaki jalan panjang berduri nan berkelok penuh terjal tanpa ada satu hal apapun yang dapat memisahkannya. Kita bangun soliditas dalam ikatan persatuan, sehingga tak seorang pun dapat mencerai beraikannya. Karena Kau adalah Aku, Aku adalah Kau, Kalian berganti menjadi Kami, Kami adalah Kita, dan Kita tetaplah Kita, begitu seterusnya.
Kita biarkan bumi memeluk mimpi-mimpi kita yang terlepas di langit arsyi.
Kita coba untuk bangkit, dari bumi ke langit. Tapi hanya satu harapku kawan, semoga kita senantiasa mengamalkan ilmu padi (semakin berisi, semakin merunduk), yang menunjukkan betapa ketidakangkuhannya jati diri kita sesungguhnya.

***
Nyaris disaat yang bersamaan, entah mengapa terekam pula reka ulang memori indah dalam kurun waktu 2 bulan terakhir ini. Padahal ia telah ku simpan rapat-rapat dan tersusun rapih sedemikian rupa. Mungkin karena ‘gemboknya’ tak begitu kuat tuk menahannya, atau memang sengaja di buka karena kapasitasnya sudah penuh dan tak mampu lagi untuk menampungnya.  Entahlah…
Sebab ku fikir itu hanya fenomena biasa. Tapi sepertinya ‘mereka’ bersikeras menyegerakan memintaku membukukan dan menaruhnya di sebuah album kompilasi karya dalam ukiran sederhana.

***
Sugesti ataupun bukan, yang jelas aku benar-benar merindukan ‘Aura yang tak biasa’ itu datang kembali saat ini atau setidaknya dalam tempo dekat. Meski kutahu rasio kemungkinannya sangatlah kecil.
Subhanallah…!!
Mengapa simpul senyumnya yang manis tak mudah lepas dari pikiranku, hingga kerap memalingkan hatiku akan keteduhan parasnya yang lembut, akan keelokkan dan keanggunan gestur tubuhnya serta kepribadiannya yang santun. Akan kepolosannya yang begitu natural. Akan segala bentuk kepengertiannya, sehingga mampu menghadirkan ruang nyaman kepada siapa pun yang berada di dekatnya. Setidaknya, tak pernah terlihat sisi keangkuhan pada dirinya barang hanya satu kali sahaja.

Tapi tak dapat ku pastikan apakah ia menyadari dan merasakan sama seperti apa yang aku rasakan Seorang hamba yang hanya dinaungi cinta yang tak bermahkota. Cinta yang sudah begitu dalam melekat dalam kalbu, dan hanya dapat tertorehkan lewat tulisan semata.

Bak bunga rampai di taman langit di kala musim penghujan datang dan berganti dengan musim kemarau yang panjang. Sesaat….. dan hanya sesaat….

***
Buyarnya keterpakuan akan khayalan tingkat tinggi, karena tak menyadari rintik tangisan awan telah turun membasahi pori-pori bumi yang dalam hitungan detik berubah kini menjadi rembesan deras air yang jatuh dari atap-atap rumah, membuat dahsyatnya konser senja saat itu.

Walau hati sedang bergelut karena dialektika yang berubah-ubah. Kutatap kembali dunia yang terlupa, peninggalan purbacala yang terlekang usia. Keterpanggilanku serasa berseru menderu-deru dalam kalbu : “ Terbitku memang dari mimpi, wahai peri kecil yang menguasai hati, meski terbenamku tak seharum bunga kesturi, kau tetaplah kupu-kupu yang selalu hiasi taman hatiku…”

Dan hati kecilku berbisik…

 “ No Time To Be a Looser… It’s Time To Life,, It’s Time To Be a Winner….”  



 By  : 

_ Rafel ^ Gun _

BASAH (Barisan Sakit Hati)

Di sini barisan sakit hati,

Bukan barikade korps polri atau kumpulan hakim dalam pengadilan negeri...

Di sini tempat bermainnya emosi,

Ketika ekspektasi tak berbuah prestasi...


Tak ada istilah saling mengisi

Yang ada hanya provokasi dan intimidasi

Tak ada kata teman sejati

Sebab teman sejati tinggal lah angan dan mimpi


Ketika pertempuran darah terjadi

Ketika hati dan perasaan tak lagi bermain disini

Ketika tak ada lagi kontrol diri

Ketika yang ada hanya caci maki tanpa ada koreksi dan evaluasi


opo iki?

semua bertarung hanya membela diri,

dengan dalih privatisasi dan berbagai kontroversi?

tak ada lagikah kearifan dalam kebijaksanaan?

kemanakah toleransi yang dahulu tenangkan nurani?


sampai detik ini..

teka-teki itu belum terjawab

hanya menjadi bagian hidup yang tak terjamahi

lantas halusinasi meraung-raung dalam imajinasi tingkat tinggi..


ribuan kilo jarak yang kau tempuh

mengayuhkan langkah kaki pada jalan yang tak bertepi..

hadirkan guratkan wajah yang berkerut

tak luput dilema dan problematika yang tak berurut


kemenangan yang dinanti tak kunjung menghampiri

derita dan luka tak pernah usai

setia menemani dalam kesendirian dan kesunyian

masih berjalan tanpa arah dan tujuan

dengan kebimbangan dan setengah keputus asaan...




By :

Muhammad Rifqi Gunawan

Kearifan Lokal Masjid Agung Banten; Dari Perspektif Budaya, Agama, dan Hukum

Minggu; 02 Januari 2011

Pukul 10.40 WIB , Pelataran Masjid Agung Banten (di Banten Lama)


Hari ini adalah hari bersejarah bagi kami, para Peserta School of Writer (SOW) I IMM Ciputat  menurutku. Hari dimana kami semua dikumpulkan menjadi satu kelompok yang solid, untuk selanjutnya melakukan petualangan riset sebagaimana lazimnya komunitas penulis lakukan, sebuah kesempatan langka ke suatu tempat di bilangan Banten Lama tepatnya di Kota Serang. Menarik melihat cuaca pagi kala itu sangat mendukung kesuksesan aktivitas observasi kami. Setidaknya tak ada pertanda sedikitpun awan akan mengalami presipitasi (proses jatuhnya hujan air), karena tak kami temukan airmata lagit jatuh ke permukaan bumi.


Tanpa Terasa, rentang waktu perjalanan selama kurang lebih dua jam setengah lamanya telah menghantarkan kita pada objek tujuan pertama semula yaitu Masjid Agung Banten di suatu daerah yang konon masyarakat sekitar sini menyebutnya dengan istilah "Banten Lama", kota yang sarat akan makna nilai sejarah, baik secara instrinsik maupun ekstrinsik. Lantas dalam bathin logikaku berpikir bahwa kemungkinan terbesar yang utama dari pelatarbelakangan istilah Banten Lama tersebut dikarenakan beberapa hal, misalnya bila ditinjau dari  hampir seluruh tekstur bangunan disini yang masih  menggambarkan keadaan kehidupan pada zaman dahulu serta nilai artistik dengan nuansa tersendiri yang khas ditandai dari ke-eksistensi-an sebagian bentuk bangunan masih berdiri gapura-gapura penyambut tamu yang berkunjung datang di setiap halaman depan gedung-gedung pencakar langit tersebut.


Kami baru saja tiba di salah satu teritorial unik di Banten Lama, orientasi pandangan kami bersama adalah menara sebagai simbol tempat yang akan dituju. Namun belum sempat kaki kami ini melangkah kesana, dalam sekejap raut muka yang tersuguhkan dari berbagai ekspresi diantara kami seakan berubah menjadi sosok-sosok yang tengah terperangah akan menu yang ditampilkan disini. Layaknya sedang menikmati sebuah pertunjukkan akrobatik seorang badut dipentas ulang tahun anak-anak atau aksi spektakuler seorang magician Limbad di atas teatrikal panggung yang sedang mempertontonkan keahliannya yang di luar batas kewajaran manusia pada umumnya itu, membuat alis naik dan kepala manggut-manggut atau sesekali menggeleng-geleng ibarat tersihir dengan apa yang telah terjadi disekeliling keberadaan kami seturunnya dari Bus. Ribuan pedagang tumpah ruah, tersebar kedalam beberapa titik di seluruh penjuru areal yang luas sedang asyik menjajakan barang dagangannya masing-masing. Tak jauh dari sana, nampaklah ribuan pasang mata dengan penokohan yang aneka ragam rupanya ikut meramaikan keramahan cuaca siang itu. Derih suara riuh rendah seperti menyuluh menyapa terdengar di telinga.. sesekali beberapa pengasong, penjaja makanan, buah, juru kamera, dan sebagainya silih berganti menawarkan barang dan jasanya.


Metapora langit biru di atas sana disertai teriknya matahari yang begitu pekat serasa membakar sumsum tulang dalam tubuh, tak lantas membuat kami bergidik untuk semakin bergegas menuju hidangan pertunjukkan dan berjuta atraksi lainnya sambil mengira-ngira apa saja yang nanti akan diperlihatkan selanjutnya pada kami.


Seakan tenggelam dalam situasi, intuisi, dan keunikan struktur bangunan yang berdiri kokoh bertahun-tahun lamanya sedari tadi. Cukup menyiratkan satu sisi Kearifan Lokal Banten Lama yang tak pernah lekang oleh waktu ditengah-tengah arus globalisasi yang semakin tak teredam dibumi pertiwi. Sebuah media pembelajaran yang baik bagi kita sebagai generasi muda yang hendak melanjutkan tongkat estafet perjuangan bapak-ibu pahlawan bangsa dimasa lampau yang telah rela berkorban waktu, bahkan nyawa mereka sebagai wujud baktinya pada bangsa dan negara. kita sebagai agen of change dimasa akan datang sebaiknya dapat melestarikan serta dapat menjaga budaya lokal sebagai wujud kekhasan budaya tiap daerah dimana kita berpijak dan tumbuh..


Masih dalam nuansa historikal Banten Lama .. Memang tak begitu jauh jarak yang harus ditempuh dari areal parkiran dimana bus kami beristirahat sejenak sampai ke tujuan, dalam hitungan menit sampailah kita di dalam, dan nampaklah menara yang sedari tadi kita cari itu, ia berdiri mematung dengan kokohnya sebagai simbol penyangga atau penambah aksesoris pelataran masjid agung banten selain bangunan makam para pahlawan banten yang ramai dikunjungi ''para penggemar setianya'' . Tak boleh berleha-leha lebih lama, karena tugas telah menanti.. menyelesaikan riset observasi bagian dari tindak lanjut agenda SOW I kedalam bentuk ukiran pena diatas kanvas masa depan. Sebuah langkah awal Seorang Penulis amatiran yang sedang berjuang masuk kedalam dunia literasi yang sebenarnya. Menjadi seorang Penulis Profesional sekelas 'Andrea Hirata' ataupun 'Habiburrahman El-Shirazy' ataupun Mas 'Piet Khaidir Hitzbullah'  (seorang tokoh fenomenal bagi kita dengan intelegensia yang begitu mumpuni dibidangnya).


Banyak hal yang bisa kita dapatkan pada kunjungan kali ini. Setidaknya ada 3 Kata Kunci Utama yang patut digaris bawahi, diantaranya: Pembelajaran, Pengalaman, dan  Wawasan Budaya Lokal. Seperti Biasanya, sekiranya ada pun beberapa catatan khusus yang tak boleh luput dari pandangan kita. Diantara yang satu ialah bersinggungan dengan prosesi ritual berziarah ke makam-makam Pahlawan banten : Sultan Hasanudin, Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan Haji, dan kolega-koleganya.. Antrian panjang dari depan pintu masuk pelataran ziarah makam pahlawan dan sekerumunan lautan manusia yang berbaris tertib (meski tidak sesempurna itu) cukup mendeskripsikan latar tempat dan situasi kondisi seperti yang kita paparkan diatas, bahwa hampir semua pengunjung yang datang kesini (bisa jadi juga masyarakat setempat) menunjukkan mimik wajah yang diliputi antusiasme tinggi, tak mau ketinggalan untuk berapresiasi entah itu dengan dalih bentuk penghormatan pada arwah-arwah mereka yang telah mati ataupun hanya sebagai penuntas rasa penasaran yang memang sengaja memanfaatkan waktu liburnya bersama keluarga tercinta.. dengan selidik kucoba agak mendekat ke arah pintu masuk, terdengar sayup-sayup prosesi dzikir bersama mendoakan arwah-arwah pahlawan yang dipimpin oleh sesepuh setempat (menurut survei) yang kemudian di ikuti berbarengan oleh para penggemar ziarah makam didalam sana.. hemmm... ya ya..


Di sudut lain, kulihat disekeliling pelataran zona luar ziarah makam tersebut, banyak terpampang dengan jelas papan-papan himbauan untuk para pengunjung yang datang kemari, kemudian kubacakan satu persatu..

" Dilarang memberi imbalan atau shodaqoh kecuali ke dalam peti " (tertanda: Bidang kenadziran Masjid Agung Banten).

Selanjutnya di sisi lainnya kubacakan lagi sebuah susunan kalimat yang bertuliskan .. " Zona Bersih dari Rokok dan Pedagang Asongan ". hemmm... ternyata di tempat ini telah ada semacam budaya hukum yang coba ditransformasikan kepada masyrakat setempat. Mengupayakan budaya tertib hukum. Sempat terpanggut gerak kepalaku ini.. hingga akhrinya tak lama setelah itu kulihat masih dalam areal tulisan tadi beberapa pemuda (mungkin pengunjung pula) dan bapak-bapak separuh abad merokok dengan bebasnya tanpa aral apapun yang merintanginya..ditegurpun bahkan tidak. (hemmm...oke lah kalo begitu)


Sayang seribu sayang, waktu pun yang mengharuskan kita berkumpul dan bersiap-siap kembali ke bus melakukan seri petualangan menarik lainnya... ke tempat yang mungkin yang lebih menarik dari yang ini. di tengah-tengah kerumunan orang yang memadati jalan pulang kita kusempatkan sesaat tuk kroscek dan ricek melakukan INSES (Interview sesaat) dengan salah satu juru kamera dan penjaja makanan disana. Tersimpullah satu kata, dan semakin lengkaplah informasi yang kudapat.. bahwa Masjid Agung Banten ini ramai pengunjung dan penjual hanya pada akhir pekan saja atau bila waktu libur telah tiba... Waw,, Like This !!! (gumamku)





Created By :


_ Rafel Gun _

d:)

Jumat, 31 Desember 2010

Di sudut sempit dimensi tak berpenghuni...

Di sudut sempit dimensi tak berpenghuni...

Saat goresan tinta tumpah seketika membanjiri  putihnya kertas yang tak berdosa
ia mengalir dengan teduhnya mengukir kiasan kata yang tak terjamah
melayang-layang namun tetap membumi
berjalan atas panggilan isyarat hati
tak tersentuh..
tak terhadang..
bergerak berjalan apa adanya tanpa batas pastii..

Di sudut sempit dimensi tak berpenghuni...

Sebuah inspirasi datang tanpa permisi..
membawa sejuta tanya dan teka-teki ,
namun makna tersirat yang kudapatkan

Disudut sempit dimensi tak berpenghuni...

Keterasingan dunia memanggil sahut menyapa
mengantarkanku pada kebimbangan
pada keragu-raguan yang sempat hadir memenuhi alam fikirku
alam bawah sadar..
sempat bertanyaku pada diri ,
mau dibawa kemana kaki ini melangkah?
disaat diri terlanjur rapuh pada perasaan semu..

Disudut sempit dimensi tak berpenghuni...

ketersembunyian sebuah kejujuran tak mampu lagi kututupi
mungkin waktulah sebagai perbedaan
penanda kapan tiba masa berakhir..
biarkan hati yang bicara..
biarkan ia yang tentukan..
mata angin perjalanan panjang sebuah kapal  teram
ditengah samudera kehidupan



Created By :
_ Rifqi Gunawan _

Aku Ingin Berteriak ... !!

Bagai goresan tinta yang jatuh di atas putihnya kertas
Tapi tak dapat kau hapuskan,
Layaknya sebuah mimpi yang tak pernah menjadi realita di masa depan,
Seumpama pena yang kau tuliskan di atas kanvas
namun tak menghasilkan karya apa pun..

Semisal batu yang terdiam, terbujur kaku, dan tak berkata-kata,
Serapuh dahan kering pohon mangga yang kau jadikan pijak
hingga membuatmu jatuh tak berdaya,

Selaksa langit yang menderu-deru memancarkan kilatan-kilatan menakutkan
kala hujan turun..
Sederas hentakkan ombak laut yang menerjang karang bebatuan
dan bertepi di pesisir pantai,

Isyarat gemuruhnya kalbu atas ketidakmengertian pada bermacam fenomena
yang kerap tak terlukiskan dan banyak meninggalkan tanya..
Semua itu bak menyiratkan sisi gelap terang lembar hidupku
yang kupikir kini hanya bisa tenggelam dalam luasnya samudera hegemoni dan memorialistik
akan kejayaan yang pernah terdeskripsikan dengan intonasi yang mengalun-alun merdu di telinga..

Aku Ingin Berteriak ...!!! sekencang-kencangnya, melepaskan segala kegetiran
tapi asaku tak kunjung sampai di peraduan
Aku ingin berbicara lantang ...!!!
namun apa daya nafasku tertahan, tanpa kekuatan..

Berdiri, melangkah, tuk lepaskan semua keluh-kesah yang ada
Genggam tangan, dan angkatlah yang tinggi, kepalkan di udara dan berteriaklah... !!!
Jeritan suara hati yang terabaikan ...



By :
_ Sang penulis kehidupan _ M. R Gunawan